Tidak sedikit diantara kita yang takut terperosok dalam jurang kemiskinan. Dengan berbagai cara, kita berusaha untuk menghindarinya. Ada yang berusaha menghindarinya dengan cara yang halal, seperti bekerja menjadi pegawai ataupun berdagang. Namun tidak sedikit juga yang menggunakan cara-cara yang dilarang dan diharamkan, seperti mencuri, berjudi ataupun korupsi. Bahkan ada juga yang sampai mengorbankan keimanannya demi menghidari jurang kemiskinan.
Kemiskinan memang identik dengan kekurangan, kesusahan dan kesengsaraan. Kita akan begitu panik dan sedih ketika ada salah satu dari harta benda kita, kendaraan misalnya, telah hilang dicuri ataupun dirampok. Berbagai cara dilakukan agar kendaraan yang hilang tersebut dapat kembali lagi. Bahkan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama-pun dilakukan, seperti datang ke dukun untuk sekedar meminta petunjuk, jimat, jampi-jampi atau meminta bantuan makhluk halus agar kendaraan yang hilang itu bisa kembali.
Rasulullah SAW bersabda: Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka. (HR. Al-Bukhariy dan Muslim)
Dalam sabda diatas, Rasulullah sendiri tidak telalu mengkhawatirkan kemiskinan. Karena memang pada umumnya orang yang miskin akan mudah diajak mendekat kepada kebenaran daripada orang kaya. Dalam sejarah para Rasul pun terlihat bahwa kebanyakan para pengikut mereka adalah orang-orang miskin. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki harta, pangkat, kedudukan ataupun jabatan. Bahkan kebanyakan pengikut Rasulullah SAW pun adalah orang-orang miskin, meski ada juga orang-orang seperti Abubakar Siddiq dan Ustman bin Affan.
Namun sebaliknya, siapakah yang mendustakan para Rasul tersebut? Kebanyakan dari mereka adalah para pemilik kedudukan, jabatan dan orang-orang kaya. Dengan kedudukan dan kekayaan yang mereka miliki, mereka menjadi ingkar atas seruan para Rasul, karena jiwa dan raga mereka telah dikuasai oleh kedudukan dan materi tersebut.
Maka kemiskinan bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Jangan sampai kita takut miskin. Jangan sampai terbetik dalam hati, kita tidak bisa makan. Namun yang terpenting adalah kita berusaha mencari rizki dengan cara yang halal kemudian berdoa dan bertawakkal kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah telah menjamin rizki seluruh makhluk-Nya. Bahkan Seeokor cicak yang tidak memiliki sayap pun bisa memakan seekor nyamuk yang sedang terbang, karena memang Allah telah menetapkan bahwa nyamuk tersebut adalah rizki bagi si cicak. Tidak ada suatu yg melata pun di muka bumi melainkan Allah- lah yg memberi rizkinya.
Kemiskinan adalah ujian. Namun, ujian yang lebih dahsyat dari kemiskinan adalah kekayaan. Tidak heran jika Rasulullah lebih mengkhawatirkan dunia yang dibentangkan kepada ummatnya dibandingkan dengan kemiskinan. Lihatlah ketika dalam keadaan miskin, kebanyakan dari kita tentunya akan lebih khuyuk dalam berdoa, lebih rajin dalam shalat berjamaah di masjid, lebih sering menghadiri majelis ‘ilmu dan akan berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah untuk menuju derajat taqwa. Namun sangat bertolak belakang ketika diantara kita memiliki jabatan yang tinggi atau diberi banyak harta. Harta, pangkat dan materi yang ada malah menyibukkan kita hingga lalai dan berpaling jauh dalam mendekatkan diri kepada Allah. Hingga pada akhirnya memunculkan sikap saling membangga-banggakan kedudukan dan materi yang telah diraih.
Allah berfirman: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. at-Takatsur: 2)
Begitulah Allah mengingatkan kita dengan firmannya. Bahwa kebanyakan kita sangat senang bermegah-megahan hingga masuk ke dalam kuburpun masih sempat bermegah-megahan. Pada akhirnya tidak lain dan tidak bukan, Allah memberikan ganjaran yang setimpah bagi orang-orang seperti itu dengan neraka jahannam.
Oleh karena itu, janganlah kita takut untuk miskin. Namun sebaliknya, bagaimana dengan kemiskinan itu seharusnya bisa membuat kita lebih bersabar, bisa membuat kita semakin khusuk untuk beribadah, selalu dalam keadaan tawakkal dan mengharap hanya kepada Allah. Waktu yang kita miliki tidak tersita dengan urusan harta benda, namun hanya beribadah kepada Allah.
Namun bukan berarti kita diharamkan untuk menjadi kaya, bahkan sebaliknya kita pun diperintahkan untuk menjadi kaya. Tidak sedikit pula orang-orang sholeh yang kaya raya seperti Nabi Ibrahim AS, Ayub AS, Dawud AS, Sulaiman AS. Atau juga para sahabat Rasulullah seperti Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar As Siddiq, dan masih banyak lagi. Mereka dengan kekayaannya kemudian bisa mempersembahkan yang terbaik di jalan Allah. Mereka adalah orang-orang kaya yang bersyukur.
Sebagai penutup, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur. Akan mudah menjadi miskin yang bersabar jika semua diserahkan kepada Allah SWT. Dan tidak sulit juga menjadi si kaya yang bersyukur, jika semua diserahkan untuk Allah SWT.
Kemiskinan memang identik dengan kekurangan, kesusahan dan kesengsaraan. Kita akan begitu panik dan sedih ketika ada salah satu dari harta benda kita, kendaraan misalnya, telah hilang dicuri ataupun dirampok. Berbagai cara dilakukan agar kendaraan yang hilang tersebut dapat kembali lagi. Bahkan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh agama-pun dilakukan, seperti datang ke dukun untuk sekedar meminta petunjuk, jimat, jampi-jampi atau meminta bantuan makhluk halus agar kendaraan yang hilang itu bisa kembali.
Rasulullah SAW bersabda: Maka demi Allah! Bukan kemiskinan yang aku khawatirkan atas kalian. Akan tetapi aku khawatir akan dibentangkan dunia atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian. Lalu kalian pun berlomba-lomba padanya sebagaimana mereka berlomba-lomba padanya. Kemudian dunia itu akan menghancurkan kalian sebagaimana telah menghancurkan mereka. (HR. Al-Bukhariy dan Muslim)
Dalam sabda diatas, Rasulullah sendiri tidak telalu mengkhawatirkan kemiskinan. Karena memang pada umumnya orang yang miskin akan mudah diajak mendekat kepada kebenaran daripada orang kaya. Dalam sejarah para Rasul pun terlihat bahwa kebanyakan para pengikut mereka adalah orang-orang miskin. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki harta, pangkat, kedudukan ataupun jabatan. Bahkan kebanyakan pengikut Rasulullah SAW pun adalah orang-orang miskin, meski ada juga orang-orang seperti Abubakar Siddiq dan Ustman bin Affan.
Namun sebaliknya, siapakah yang mendustakan para Rasul tersebut? Kebanyakan dari mereka adalah para pemilik kedudukan, jabatan dan orang-orang kaya. Dengan kedudukan dan kekayaan yang mereka miliki, mereka menjadi ingkar atas seruan para Rasul, karena jiwa dan raga mereka telah dikuasai oleh kedudukan dan materi tersebut.
Maka kemiskinan bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Jangan sampai kita takut miskin. Jangan sampai terbetik dalam hati, kita tidak bisa makan. Namun yang terpenting adalah kita berusaha mencari rizki dengan cara yang halal kemudian berdoa dan bertawakkal kepada Allah. Karena sesungguhnya Allah telah menjamin rizki seluruh makhluk-Nya. Bahkan Seeokor cicak yang tidak memiliki sayap pun bisa memakan seekor nyamuk yang sedang terbang, karena memang Allah telah menetapkan bahwa nyamuk tersebut adalah rizki bagi si cicak. Tidak ada suatu yg melata pun di muka bumi melainkan Allah- lah yg memberi rizkinya.
Kemiskinan adalah ujian. Namun, ujian yang lebih dahsyat dari kemiskinan adalah kekayaan. Tidak heran jika Rasulullah lebih mengkhawatirkan dunia yang dibentangkan kepada ummatnya dibandingkan dengan kemiskinan. Lihatlah ketika dalam keadaan miskin, kebanyakan dari kita tentunya akan lebih khuyuk dalam berdoa, lebih rajin dalam shalat berjamaah di masjid, lebih sering menghadiri majelis ‘ilmu dan akan berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah untuk menuju derajat taqwa. Namun sangat bertolak belakang ketika diantara kita memiliki jabatan yang tinggi atau diberi banyak harta. Harta, pangkat dan materi yang ada malah menyibukkan kita hingga lalai dan berpaling jauh dalam mendekatkan diri kepada Allah. Hingga pada akhirnya memunculkan sikap saling membangga-banggakan kedudukan dan materi yang telah diraih.
Allah berfirman: Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu). (QS. at-Takatsur: 2)
Begitulah Allah mengingatkan kita dengan firmannya. Bahwa kebanyakan kita sangat senang bermegah-megahan hingga masuk ke dalam kuburpun masih sempat bermegah-megahan. Pada akhirnya tidak lain dan tidak bukan, Allah memberikan ganjaran yang setimpah bagi orang-orang seperti itu dengan neraka jahannam.
Oleh karena itu, janganlah kita takut untuk miskin. Namun sebaliknya, bagaimana dengan kemiskinan itu seharusnya bisa membuat kita lebih bersabar, bisa membuat kita semakin khusuk untuk beribadah, selalu dalam keadaan tawakkal dan mengharap hanya kepada Allah. Waktu yang kita miliki tidak tersita dengan urusan harta benda, namun hanya beribadah kepada Allah.
Namun bukan berarti kita diharamkan untuk menjadi kaya, bahkan sebaliknya kita pun diperintahkan untuk menjadi kaya. Tidak sedikit pula orang-orang sholeh yang kaya raya seperti Nabi Ibrahim AS, Ayub AS, Dawud AS, Sulaiman AS. Atau juga para sahabat Rasulullah seperti Usman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar As Siddiq, dan masih banyak lagi. Mereka dengan kekayaannya kemudian bisa mempersembahkan yang terbaik di jalan Allah. Mereka adalah orang-orang kaya yang bersyukur.
Sebagai penutup, kebaikan bukan terletak pada kaya-miskinnya, tetapi lebih pada syukur. Akan mudah menjadi miskin yang bersabar jika semua diserahkan kepada Allah SWT. Dan tidak sulit juga menjadi si kaya yang bersyukur, jika semua diserahkan untuk Allah SWT.
Oleh: Farizal Alboncelli
Tidak ada komentar:
Posting Komentar