Selasa, 25 Januari 2011

Episode Keserakahan Dalam Jenak Kemiskinan

Kemiskinan ada dimana-mana. Ia ada di pasar, terminal, stasiun, pinggir jalan dan jembatan. Ia hadir di kota besar, juga ada di pedesaan. Ia ada di negara maju, kecil dan juga negara-negara berkembang. Ia menjadi sorotan. Ia ada dalam database dunia internasional, bahkan PBB sampai perlu membuat standarisasi dan definisi khusus tentang kemiskinan. Ia menjadi wacana intelektual, dibincangkan dari mulai masjid, hotel berbintang, pusat-pusat pemerintahan dan perkantoran hingga istana negara. Ia pun menjadi komoditas pencetak uang. Para pembuat program televisi pun memutar otak untuk ‘menjual’ kemiskinan lewat program-program semacam Bedah Rumah, Dibayar Lunas, Uang Kaget, Minta Tolong, Tukar Nasib, Pemberian Misterius, Tangan di Atas dan masih banyak program sejenis lainnya. Para politisi pun tak ketinggalan. Mereka menjadikanya sebagai ’komoditas utama’ pendulang suara ketika masa-masa kampanye. Mereka beramai-ramai menyatakan diri sebagai pembela “wong cilik”, pro-rakyat atau semacamnya.

Sementara itu, orang miskin sendiri tak begitu sadar kalau mereka diperbincangkan terus menerus. Seakan acuh tak acuh dengan eksploitasi dirinya. Yang ia tahu, orang miskin tetap saja miskin. Mereka lebih senang berkubang dalam airmata kesusahan. Meskipun para politisi membuat program seefektif dan seefisien mungkin, atau program-program televisi tersebut memiliki rating yang sangat tinggi, namun nasib mereka tak juga berubah.

Kemiskinan seolah-olah sengaja dipelihara. Agar penguasa punya kesibukan mengurusi orang miskin, bisa membuat program-program pengentasan kemiskinan. Agar para artis dan pengusaha bisa tebar pesona ketika mereka menyumbang dalam jumlah yang besar, untuk sekedar mendapat predikat dermawan. Atau mungkin juga agar para ulama tidak kehilangan topik ceramah, “kemiskinan dekat pada kekufuran” sehingga harus dibela, tapi dia sendiri enggan untuk bersedekah.

Inilah tragedi. Tragedi dari sebuah eposide kemiskinan yang tereksploitasi. Setiap nyawa memang ada jatah rezekinya, tapi pelaksanaannya berpulang pada hubungan sosial antara kita. Kaya atau miskin, banyak atau sedikit, lama atau sebentar, sulit atau muda ternyata memang sudah sunnatullah. Namun seharusnya ada hubungan pola interaksi sosial di dalamnya, hingga si kaya bisa membantu si miskin, dan si miskin pun bisa menolong yang kaya. Allah menjadi kaya dan miskin itu pasti ada tujuannya.

Seringkali, yang membuat orang miskin bukan karena ia malas untuk berusaha, tapi bagian yang seharusnya untuk si miskin ditelan habis-habisan oleh si kaya  Yang membuat orang lapar bukan karena tak ada makanan, tapi jatah makannya telah diambil orang lain. Yang membuat orang kekurangan bukan karena minimnya ketersediaan kebutuhan, tapi karena ada orang lain yang tak pernah merasa berkecukupan, sehingga distribusi sumber daya yang ada tidak merata. Inilah sebuah episode keserakahan dalam jenk kemiskinan.

Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan bathin (QS Luqman: 20)

Begitu jelas keterangan yang Allah turunkan terhadap kita, bahwa seluruh sumber daya alam yang ada di bumi ini benar-benar telah dicukupkan untuk kepentingan kita sebagai manusia. Seharusnya tak ada lagi kemiskinan yang harus dieksploitasi, dikaji, diseminarkan, distandarisasikan hingga menjadi bahan program acara-acara televisi. Seharusnya tidak ada lagi kelaparan, persaingan, pertaruhan hidup atau mati hanya untuk sekedar mengisi setiap detik kehidupan ini. Bahwa semua telah dicukupkan dan tak perlu lagi kekhawatiran akan kekurangan. Akan tetapi semua hanya bisa menjadi angan-angan belaka, sirna dan musnah ditelan keserakahan dan ketamakan manusia..

Menjadi menarik bagaimana sebuah ilustrasi dari sabda Rasulullah yang menggambarkan kerakusan manusia. ”Adalah dua ekor serigala yang lapar, yang dilepaskan ke sekawanan domba, tidak lebih berbahaya dari kerakusan manusia kepada harta kekayaan dan kesenangan berlebihan dan bagaimana ia merusak agamanya.”

Betapa sangat detail konotasi Rasulullah dari sebuah keserakahan manusia. Sebuah gambaran kerakusan yang divisualisasikan dalam bentuk serigala lapar yang dilepaskan ke sekawanan domba, bukan satu akan tetapi dua serigala lapar. Bahkan Rasulullah mengatakan ’tidak lebih berbahaya’ yang menggambarkan bahwa kerakusan manusia bisa lebih dahsyat dari dua ekor serigala lapar tersebut. Sebab sejatinya serigala-serigala lapar itu hanya akan sebatas kapasitas ruang lambungnya saja. 
 

Inilah episode keserahkan dalam jenak kemiskinan. Seperti sketsa serigala-serigala itu, bahkan lebih. Mereka yang tak pernah kenyang. Kelaparannya tak lagi soal perut yang kosong, tetapi merambah dan merampok hak fakir miskin dan dhuafa. Mereka yang rakus, menjadi monster yang tak pernah puas dengan keadaan dan takdir yang ditetapkan. Persis gambaran Rasulullah bahwa apabila manusia memiliki dua lembah kekayaan, maka ia akan mencari yang ketiga. Dan tidak ada yang membuat dirinya kenyang kecuali tanah.  

Perampokan, korupsi, pembunuhan merupakan anak-anak keserakahan. Tak peduli kerabat, teman dekat, saudara bahkan orang tua yang melahirkan dan membesarkannya bisa menjadi korban dari keserakahan. Dua orang saudara kandung yang sejak kecil hingga dewasa selalu bersama bisa saling bunuh lantaran pembagian harta waris yang tidak adil. Kerabat dekat yang telah akrab dan menjalankan bisnis bersama bisa saling tusuk hanya karena masalah pembagian laba bisnis yang tidak merata. Bahkan tidak sedikit anak yang membunuh orang tuanya karena uang yang diberikannya sangat sedikit. Seorang pejabat yang telah memiliki gaji yang tinggi pun masih sempat-sempatnya mengambil harta yang bukan haknya. Keserakahan seakan telah menjadi sebuah kewajiban, tak perduli dengan cara apapun dan berakibat apapun. 

Adalah sebuah kefitrahan jika manusia melakukan upaya untuk bertahan hidup. Namun, upaya tersebut tidak harus mengorbankan keseimbangan sosial yang ada. Karena memang manusia adalah makhluk sosial yang harus berusaha menyeimbangkan antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan orang lain. Karena manusia akan mebutuhkan manusia lain dalam berinteraksi. Sebuah upaya untuk bertahan hidup yang dilakukan dengan metode individualistik dan egois yang mengedepankan unsur keserakahan akan menjadi sesuatu yang destruktif. Namun, bila pengelolaannya mengedepankan unsur keseimbangan sosial, maka yang akan hadir adalah keberkahan sosial yang memunculkan kebahagiaan dan ketentraman hidup. 

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa (QS Al Lail: 5-22) 

Entah... kita mengambil posisi dimana. Sebagai orang kayakah? biasa-biasa sajakah Pas-pasankah? Atau bahkan mengambil peran menjadi orang yang tak punya dan hidup dalam pusaran kemiskinan? Kita mungkin menjadi salah satu pemerannya dalam sandiwara kehidupan di dunia ini. Tetapi yang lebih penting dari itu ialah bagaimana kita berusaha menjadi hamba-Nya yang terbaik. Jika mendapat peran sebagai orang kaya, maka bagaimana kita berusaha menjadi yang terbaik diantara yang baik di hadapan-Nya. Pun ketika kita dalam posisi pas-pasan atau bahkan berkubang dalam lautan kemiskinan, tidak ada alasan untuk merasa rendah dan miskin amal ibadah.  Bumi ini sudah sangat sesak dipenuhi oleh orang-orang serakah. Jangan pula kita tambahkan lagi kesesakannya dengan keserakahan diri kita.

Farizal Al Boncelli

Tidak ada komentar:

Posting Komentar